JAKARTA – Lembaga Investigasi Anggaran Publik (LINAP) mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap dugaan adanya perlakuan istimewa dalam proyek pembangunan Menara Mercusuar Karang Singa di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Proyek yang dikelola oleh Kantor Distrik Navigasi Tipe A Kelas I Tanjung Pinang ini mencuat ke permukaan setelah PT Pacific Multindo Permai (PT PMP) kembali ditunjuk sebagai kontraktor utama, meskipun sebelumnya dinilai gagal dalam pelaksanaan proyek yang sama.
Baskoro, Ketua Umum LSM LINAP, dalam pernyataannya pada Rabu, 14 Agustus 2024, mempertanyakan keputusan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang tetap melanjutkan kerja sama dengan PT PMP. “Kontraktor pelaksana pembangunan Menara Mercusuar Karang Singa di Pulau Bintan dianggap gagal. Tapi kembali ditunjuk, ini kan janggal, harusnya melalui proses panjang, tidak seperti sekarang menggunakan jalur by-pass begini,” ungkap Baskoro.
Menurut Baskoro, penunjukan langsung PT PMP untuk melanjutkan pekerjaan proyek menimbulkan dugaan adanya praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ia menegaskan bahwa seharusnya PPK melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja PT PMP sebelum memutuskan untuk kembali menunjuk perusahaan tersebut. “PPK harus menghitung kekurangan prestasi pekerjaannya, setelah itu baru membuat kebijakan baru, dengan mem-blacklist dulu perusahaan yang gagal melaksanakan pada anggaran sebelumnya,” tegasnya lagi.
Proyek pembangunan Menara Mercusuar Karang Singa ini merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk mempertegas kedaulatannya atas wilayah yang berdekatan langsung dengan Singapura dan Malaysia. Pulau Karang Singa, yang berjarak sekitar 3,70 mil laut dari Tanjung Sading, Kecamatan Bintan Utara, Kepulauan Riau, kerap menjadi objek sengketa dan klaim oleh negara-negara tetangga, terutama Malaysia.
Dengan nilai proyek mencapai Rp69,111 miliar, PT PMP telah menerima pembayaran sebesar 20% sebagai Down Payment (DP) dari nilai kontrak pada tahap awal proyek. Pada Agustus 2023, PT PMP kembali menerima pembayaran sebesar 15% dari nilai kontrak. Namun, LINAP menemukan bahwa di lapangan hanya satu tiang pancang yang berhasil didirikan, jauh dari target yang seharusnya.
Baskoro menilai bahwa kondisi di lapangan tidak sebanding dengan dana yang telah dikeluarkan. “Penyedia jasa itu, tidak cakap dalam menyelesaikan pekerjaan itu, kenapa ditunjuk lagi, seharusnya dievaluasi, bukan sebaliknya diperlakukan istimewa,” ujarnya.
Sementara itu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Proyek Pembangunan Mercusuar Karang Singa, Rolando P. Simbolon, ketika dikonfirmasi melalui saluran WhatsApp, menolak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai proyek tersebut. Ia hanya menegaskan bahwa proyek masih dalam proses dan bahwa kontrak telah diubah menjadi kontrak multi-tahun (myc). “Kami juga bekerja mengacu kepada peraturan yang ada, dan saat ini status kontrak myc atau multiyears,” paparnya tanpa memberikan penjelasan lebih rinci.
LINAP mendesak Aparat Penegak Hukum (APH), termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk segera turun tangan mengusut dugaan penyimpangan dalam proyek ini. “Persoalannya harga penawaran sudah tak berlaku, dengan dilanjutkan perusahaan yang sama, pertanyaan dasar hukumnya apa, jaminan penawaran sudah tidak berlaku, harga penawaran kadaluarsa, tapi sekarang pekerjaan itu dijadikan tahun jamak dan pelaksana ditunjuk yang perusahaan sama, meski gagal sebelumnya,” tambah Baskoro.
Kasus ini semakin menambah kekhawatiran publik terhadap tata kelola proyek infrastruktur di wilayah perbatasan, yang seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Dengan urgensi menjaga kedaulatan negara, proyek seperti pembangunan Menara Mercusuar Karang Singa tidak hanya penting dari segi pembangunan, tetapi juga dari segi pertahanan nasional.
LINAP dan berbagai organisasi pengawas lainnya kini menunggu respons cepat dari pihak berwenang untuk memastikan bahwa proyek ini berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan tanpa adanya praktik-praktik koruptif. ***
(Red)