AMBON – Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menggarisbawahi pentingnya keberlanjutan media pers dalam era disrupsi, terutama untuk menjaga kebebasan serta keakuratan data dan pemberitaan. Pernyataan ini disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Provinsi Maluku Tahun 2024, yang diadakan di SwissBell Hotel, Selasa (9/7/2024).
Dalam diskusi tersebut, Ninik Rahayu menyatakan bahwa nilai IKP 2023 mengalami penurunan dibandingkan nilai IKP 2022. IKP 2023 mencatat nilai 71,57, turun sekitar enam poin dari nilai 77,88 di tahun 2022. Meskipun demikian, kategori kemerdekaan pers tetap berada dalam kategori “Cukup Bebas” dengan rentang angka 70-89.
Ninik menjelaskan bahwa survei IKP menilai kondisi kemerdekaan pers pada periode satu tahun sebelumnya. Oleh karena itu, survei IKP 2022 menilai kondisi kemerdekaan pers sepanjang tahun 2021, sementara survei IKP 2023 mengukur kondisi kemerdekaan pers selama tahun 2022.
“Penurunan angka IKP ini merupakan yang pertama sejak enam tahun lalu,” ungkap Ninik. Nilai IKP sebelumnya terus meningkat, dari 69 pada tahun 2018 (kategori “Agak Bebas”), menjadi 73,71 pada tahun 2019, 75,27 pada tahun 2020, 76,02 pada tahun 2021, dan 77,88 pada tahun 2022.
Penurunan nilai IKP 2023 disebabkan oleh beberapa indikator yang mengalami penurunan, termasuk “Kebebasan dari Intervensi” dan “Kebebasan dari Kekerasan” dalam lingkungan politik yang turun sekitar 7 poin. Pada lingkungan ekonomi, indikator “Independensi dari Kelompok Kepentingan Kuat” juga turun 8 poin. Di lingkungan hukum, penurunan terbesar terjadi pada indikator “Kriminalisasi dan Intimidasi Pers” serta “Etika Pers” yang masing-masing turun sekitar 8-9 poin.
Ninik juga mengungkapkan bahwa selama tahun 2022 masih terjadi berbagai bentuk kekerasan terhadap pers, baik fisik maupun non-fisik, termasuk kekerasan melalui sarana digital. Intervensi terhadap ruang berita, baik dari luar maupun dalam, juga masih terjadi, yang turut berkontribusi pada penurunan nilai IKP 2023.
Di lingkungan ekonomi, banyak media di daerah mengalami ketergantungan pada kelompok ekonomi kuat, terutama melalui “kerjasama” berita berbayar dengan pemerintah daerah. Hal ini membuat media rentan terkooptasi oleh kepentingan pemerintah daerah setempat. Banyak perusahaan pers juga mengalami kesulitan membayar upah karyawan minimal sesuai upah minimum provinsi, yang mengurangi posisi tawar mereka terhadap kekuatan ekonomi dan politik dari luar.
Menanggapi hasil survei ini, Ketua Bidang Organisasi Pengurus Pusat Jaringan Media Siber Indonesia (PP JMSI), Dino Umahuk, menyatakan bahwa nilai IKP 2023 sebesar 71,57 memerlukan penanganan khusus untuk perbaikan di masa depan. Ia menyebutkan bahwa tren penurunan IKP ini sejalan dengan tren global, dengan IKP Indonesia masih berada di bawah Malaysia dan Timor Leste.
Dino juga mencatat adanya peningkatan perilaku koersif di kalangan warga yang menghambat kebebasan sipil. Ia menyoroti bahwa aktor-aktor yang menghambat kebebasan sipil tumbuh di tengah masyarakat. JMSI terus berupaya mengklasifikasikan perusahaan-perusahaan media anggotanya untuk memetakan kondisi mereka, guna mendukung upaya perbaikan IKP ke depan. ***
(Red)