PRESSMEDIA.ID – Selamat merayakan Hari Kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para Pahlawan. Tentunya mereka telah berjuang dengan harapan agar kita terbebas dari penjajahan dan kemiskinan.
Baik penjajahan dari bangsa lain maupun dari yang lain-lainnya, dengan harapan agar perekonomian menjadi lebih baik dan kemakmuran bagi semua rakyat Indonesia.
Merdeka itu, ketika kita bisa memanfaatkan apa yang kita miliki dan bermanfaat juga bagi orang lainnya. Lantas bagaimana kalau hal tersebut berubah menjadi suatu penderitaan atas apa yang telah kita miliki.
Dan ketika kita masih harus berjuang ditengah-tengah suatu ketidakpastian kewenangan yang dengan mudah dijadikan menjadi sebuah atraksi pertunjukkan oleh oknum-oknum bangsa sendiri yang tidak bertanggung jawab.
Bahwa saat ini, setelah 79 Tahun Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 2024, kita mengetahui masih banyaknya terdapat kasus sengketa pertanahan yang terjadi.
Hal itu, akibat kurang baiknya tata-kelola pada bidang pertanahan tersebut, dan salah satunya dengan adanya pemekaran suatu wilayah maka seringkali dilakukan pemutihan atas data objek pertanahannya.
Hal ini sangat berpotensi menimbulkan kerawanan konflik maupun terbukanya celah resiko pada saat pemutakhiran data pertanahan di wilayah yang melakukan pemekaran tersebut.
Sebagai contoh kasus sengketa tanah pada wilayah Tangsel, merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang pada tahun 2009. Dimana atas pemutihan data pertanahan pada wilayah tersebut terdapat penderitaan seorang Ibu.
Ya, ibu yang sudah uzur yang juga merupakan seorang pensiunan PNS yang masih harus berjuang dalam mempertahankan hak tanah miliknya selama belasan tahun. Sampai saat ini Ibu Siti terus berjuang atas ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Ibu Siti adalah seorang pemilik tanah yang didapatnya dengan proses jual-beli dengan seseorang penjual asli pribumi. Pada saat itu pemilik tanah dikenal seorang sosok tokoh masyarakat pada wilayah tersebut pada sekitar tahun 1982.
Namun pada sekitar tahun 2016 Ibu Siti telah dilaporkan ke pihak Kepolisian oleh orang yang mengaku-ngaku memiliki tanah tersebut sejak tahun 2009. Ironisnya atas pelaporan tersebut Ibu Siti, telah ditetapkan menjadi tersangka.
Tak hanya itu, bahkan pada tahun 2019, Ibu Siti digugat pula secara perdata pada Pengadilan Negeri, dimana atas pelaporan kepada pihak Kepolisian tersebut Ibu Siti memohon bantuan hukum kepada LBH Jakarta untuk membantu memberikan pendampingan baginya yang buta akan proses hukum.
Dan pada tahun 2021 Ibu Siti kembali digugat secara perdata ke-2 (dua) kalinya atas tuduhan perbuatan melawan hukum, yang pada prosesnya atas gugatan pada tahun 2021 tersebut.
Sehingga pada akhir tahun 2023 sudah terdapat putusan MA yang menyatakan bahwa penggugatlah yang mempunyai hak atas objek tanah sengketa.
Bagaimana mungkin seorang Ibu yang telah membeli tanah sejak tahun 1982 atau sekitar 42 tahun yang lalu serta pada lokasi tanah telah berdiri pula bangunan rumah sejak tahun 2007.
Tapi, bisa dikalahkan oleh orang yang mengaku-ngaku telah membeli tanah pada tahun 2009 dengan menggunakan data/alas tanah milik si-Ibu ?
Ibu Siti sempat memohonkan mediasi pada tahun 2011 kepada Kantor BPN Kabupaten Tangerang, dimana karena baru diketahui bahwa data PBB dari Ibu Siti telah dirubah/berubah secara sepihak dengan sewenang-wenang oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Ibu Siti juga pernah dimediasi, dan pada saat itu, pejabat Kelurahan menyampaikan permohonan maafnya secara langsung atas kesalahan anak buahnya yang telah merubah data PBB dan sekaligus berjanji akan memulihkan data menjadi atas nama Ibu Siti kembali.
Janji hanya tinggal janji, namun hal itu tidak pernah kunjung dilaksanakan dan tidak pernah ada pihak yang sedikitpun bertanggung jawab atas peristiwa perubahan data alas tanah milik si-ibu.
Atas gugatan perdata pada tahun 2019 Ibu Siti didampingi oleh Penasehat Hukum rekomendasi dari LBH JAKARTA dan Majelis Hakim pun telah menetapkan perkara perdata tersebut dengan penetapan gugur.
Merasa tidak puas, kembali pada tahun 2021 para oknum tanah yang notabene adalah pejabat pada wilayah tersebut mengajukan gugatan perdata ke-2 (dua) kalinya pada Pengadilan Negeri, yang mana pada tahun 2023 telah adanya putusan MA yang menolak kasasi dari Ibu Siti dan Pihak Tergugat/masyarakat pribumi asli lainnya pada lokasi tanah sengketa tersebut.
Dalam hal ini, dimanakah Negara dapat turut hadir dalam memberikan Keadilan Sosial bagi rakyatnya yang merupakan pembayar pajak?
Dan akan dibawa kemana kemerdekaan itu, oleh kita atau oleh siapa?
Apakah Negara ini dan sampai kapan akan menjadi benar?
Jika hukum telah dijadikan suatu atraksi serta alat permainan dan bukan yang berdasarkan kepada Undang-undang, tetapi melainkan hanya selalu bagi mereka yang mendalilkan menggunakan dasar kewenangan dan kesewenanganya.
Oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dengan mudahnya mengkriminalisasi seseorang, dengan terang-terangan memalsukan suatu fakta tanpa aslinya dan memberikan keterangan-keterangan untuk kepentingan pesanannya.
Tentu sudah waktunya bagi masyarakat pun untuk melek hukum bahwa sekarang ini banyak masyarakat yang telah divonis namun belum tentu bersalah, bahwa hal demikian tidaklah sesuai dengan penjaminan hak kepada rakyat yang sesuai dengan konstitusi.
Semoga narasi singkat ini bisa menjadi telaah pada suasana kemerdekaan kita, butuh berapa tahun dan lama lagi kita akan benar-benar Merdeka?
Akankah merdeka itu hadir pada saat nanti disaat kita sudah tidak lagi bisa berbicara kebenaran?
Saat ini semakin jauh rasanya untuk menggapai para pengambil kebijakan yang akan tinggal dibelahan Pulau Borneo pada saatnya nanti, Namun bagaimanapun di negeri inilah kita dilahirkan dan di negeri ini pula akan kita junjung tinggi Moral dan Etika sebagai Patriot Bangsa.
Dengan lirihnya mengayun melafalkan kata Merdeka.. Merdeka.. Merdeka..!!!
(Hanya pada sebatas WA-group seorang pensiunan sambil menerawang langit awan biru Ibu Siti seraya berdoa.. Mohon Tunjukkan Keadilan-Mu Wahai Gusti Pangeran Tuhan Yang Maha Esa..!!!)
Penulis : Andri Yudistra
085892299009